Presiden PKS Kritik Aktivitas Para Pendengung yang Selalu Membangun Narasi Perpecahan

Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu mengkritik aktivitas para pendengung yang selalu membangun narasi perpecahan di antara anak bangsa. Syaikhu menyebut, saat ini ada persoalan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keakraban yang menjadi ciri khas bangsa ini dirusak dan terusik, terutama lewat narasi para pendengung yang membelah publik.

Hal ini disampaikan Ahmad Syaikhu dalam Pidato Politik pada Puncak HUT 19 PKS dan Halal bi Halal Nasional, Minggu (30/5/2021). "Akal sehat kita sebagai manusia rasional tak lagi bisa bernalar. Di tengah tengah masyarakat yang masih terbelah, ada narasi yang seolah olah ingin membenturkan sesama anak bangsa, narasi provokatif yang mencederai kerukunan hidup sesama anak bangsa," tegas Ahmad Syaikhu. "Kita merasakan, akhir akhir ini ada propaganda yang begitu bising diperdengungkan oleh para pendengung bahwa menjadi seorang Muslim yang taat itu tidak bisa sekaligus menjadi warga negara yang taat. Menjadi seorang religius tidak bisa menjadi seorang nasionalis. Atas nama nasionalisme, mereka sematkan stigma radikalisme kepada sesama anak bangsa. Atas nama Pancasila, mereka sematkan tuduhkan ekstremisme kepada sesama warga negara," tambahnya.

Syaikhu mengungkapkan, para pendiri bangsa sudah meletakkan konsensus dasar bernegara sebagai alat persatuan. Namun, para pendengung terus menyalahgunakan hal itu sebagai instrumen untuk memecah belah persatuan. "Bukankah Para Pendiri Bangsa, Soekarno Hatta, telah meletakkan dasar dasar konsensus bernegara, sebagai alat untuk mempersatukan bangsa? Pancasila lahir sebagai common platform, kalimatun sawa’ seluruh bangsa Indonesia, dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Rote!" ungkapnya.

"Hari hari ini, kita menyaksikan Pancasila tidak lagi menjadi konsensus pemersatu bangsa sebagaimana dicontohkan para pendiri bangsa. Pancasila telah disalahgunakan sebagai instrumen kekuasaan untuk memecah belah per satuan bangsa! Atas nama Pancasila, hegemoni kekuasaan merusak kehangatan percakapan warga negara, mengadu domba sehingga terjadi keterbelahan yang semakin menganga," jelas Syaikhu.